Tampak Lautan
di Senori
Jatisari
merupakan desa agraris yang terletak 5 kilometer utara kaki Gunung Gong,
Banyuurip, Kecamata Senori, atau 50 kilometer barat daya kota Kabupaten Tuban Jawa
Timur. Desa yang lebih dikenal dengan sebutan Senori ini merupakan dua kampung kecil yang terbagi atas
dua dusun yaitu Jatisari untuk sebutan
kampung timur dan Jatileres untuk barat, Desa tersebut memiliki dua aliran sungai,
yaitu sungai “Kaligede” yang
merupakan anak kaki gunung Gong
Banyuurib yang membelah kampung Jatisari, dan “Kali Jati” yang menjadi pembatas dengan Dusun
Jatileres. Mata pencaharian utama penduduk kedua dusun tersebut adalah tani
dan ternak, secara geografis baik krajan Jatisari maupun Dusun Jatileres sebenarnya
tergolong kurang agraris, tanah pertanian di kedua dusun tersebut sangat
tergantung air hujan (sawah tadah, sawah bathok) , belum ada irigasi. Berbeda
dengan desa yang terletak tepat di utara
desa Jatisari yaitu Desa Sendang yang terdapat air melimpah. Nama Sendang konon
diambil karena kampung tetangga di utara
Desa Jatisari ini terdapat sebuah telaga dan sungai yang juga membelah desa
Sendang selalu berair sepanjang musim, sumber air di tanah-tanah penduduk juga
sangat melimpah, hingga tanah pertanian cukup subur.
Berawal
dari Desa Sendang inilah terdapat pendatang kaya asal kota Padangan Bojonegoro
yang bernama Carik Kontho dan istri, konon beliau datang ke Senori untuk
berdagang dan berdakwah bersama adiknya,
Koyo, yang tinggal di Desa Leran Selatan desa Jatisari. Bila dibandingkan
dengan Desa Leran, Desa Jatisari juga
dinilai kurang ekonomis, sebab pusat perdagangan warga (pasar) saat itu
bertempat di Desa Leran tersebut, bukan di Jatisari seperti yang ada sekarang, konon
tepatnya di sekitar masjid jamik Desa Leran sekarang.
Nasib
baik dialami Carik Kontho yang tinggal di Desa Sendang yang oleh masyarakat
Senori akhirnya dikenal dengan nama Kyai Abdul Mukti, beliau dikenal sebagai
sosok pekerja keras hingga berhasil dalam
usaha terutama mengelola pertanian. Hanya di tempat tinggal barunya tersebut
yakni Desa Sendang yang juga perbatasan dengan Jatisari konon sering terjadi
perkelaian antarwarga terutama mereka yang memiliki ilmu kedigdayaan, tempat
tersebut juga sering dijadikan ajang pertemuan para jawara untuk mengadu kasaktian,
hingga Desa Senori (sebutan untuk Desa Jatisari) ini dulu dikenal juga dengan
sebutan kampung jawara (pendekar), banyak orang sakti yang tinggal di tempat
itu, bahkan orang luar desa datang ke
Senori untuk beradu kesaktian. Namun sayang para pendekar yang rata-rata belum dalam ilmu agamanya
banyak membuat ulah di tengah masyarakat, hingga penduduk asli merasa resah.
Hal demikian menarik Kyai Abdul Mukti untuk mendatangkan seorang alim yang juga sakti dari sebuah kampung di Desa Sedan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, beliau adalah Mbah Kyai Gusno.
Hal demikian menarik Kyai Abdul Mukti untuk mendatangkan seorang alim yang juga sakti dari sebuah kampung di Desa Sedan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, beliau adalah Mbah Kyai Gusno.
Kedatangan Kyai Gusno, bukan tanpa hambatan, beliau
datang langsung berhadapan dengan para jawara baik yang benar-benar ingin adu
kesaktian maupun yang hanya ingin
main-main dengan kyai yang memiliki nama lain
Abdul Qohir ini. Namun
karena ilmu kesaktiannya yang mumpuni, beberapa
pendekar takluk dihadapan mbah Gusno, termasuk Ki Sumorantam, pendekar sakti
yang pernah ada saat itu. Melalui putra mbah Gusno yakni Kyai Hambali, Ki
Sumorantam dapat ditaklukkan dalam sebuah pertempuran jawara . Ki Sumorantam,
tokoh kontroversi yang pernah teter (imbang) beradu kasaktian dengan
Kyai alim satu kampung, yaitu Kyai Zainuri atau lebih dikenal dengan nama Kyai
Janur yang keduanya sama-sama putra asli Desa Leran itu mengakui kehebatan
keluarga Kyai Gusno.
Untuk menjaga ketentraman warga, konon Kyai Gusno juga terpaksa memberi tumbal Desa Senori dari
orang-orang jahat yang berniat
mengganggu masyarakat Senori. Tumbal itu
berupa bayangan menyerupai lautan yang bergelombang besar saat orang mancadesa
hendak berbuat jahat di desa tersebut. Bahkan para perampok yang telah dapat masuk ke Senori bisa kehilangan
arah untuk tidak dapat keluar desa lagi, Di samping itu “Kyai macan putih” milik Mbah Gusno akan
berjaga mengelilingi kampung saat malam hari tiba guna membantu ketentraman
warga Senori.
Di samping memiliki ilmu kanuragan, Kyai Gusno juga
alim dalam bidang agama, selanjutnya guna
lebih dekat dengan masyarakat, ilmu ketabiban yang beliau kuasai dijadikan media untuk menyatu dengan lingkungannya.
Makam mbah kyai Gusno
terletak dipemakaman umum Desa Jatisari yang lebih dikenal sebutan makam
Pontang, nama “Pontang” sendiri konon juga diambil dari nama orang sakti
yang jasadnya kali pertama dimakamkan di
tempat tersebut, hanya Gem@s belum bisa menelusuri cerita tersebut.
Sepeningal Mbah Gusno, perjuangan diteruskan oleh
salah satu putranya yaitu Kyai Djoned. Ilmu riyadhoh dan kanuragaan yang
diperoleh dari abahnya terus digunakan untuk membantu masyarakat dalam mengatasi persoalan hidup. Kehebatan mbah Djoned
menyamai abahnya, Kyai Gusno. Karena jasa perjuangannya dalam membantu masyarakat
Senori, oleh pemerintah Kecamatan Senori kini namanya diabadikan menjadi nama sebuah
jalan desa, tepatnya jalan raya Jatisari arah timur hingga batas Desa Wanglu
Wetan Senori.
Bidang Pendidikan
Di sisi lain, Kyai Syahid, salah satu menantu kyai Abdul Mukti (mbah Kontho), asal Desa Sedan Kabupaten Rembang juga merasa prihatin melihat penderitaan masyarakat atas penindasan kolonial yang membuat masyarakat Senori buta huruf, banyak masyarakat tidak diberi kesempatan layak mengenyam pendidikan. Untuk itu suami Nyai Sulminah binti Kontho ini, yang juga pernah “nyantri” kepada Kyai Khozin Desa Tanggir, Singgahan 7 kilometer timur laut Senori tersebut, berinisiatif mendirikan pesantren. Guna mendukung cita-citanya, selain mengkader putranya sendiri, beliau mencari beberapa santri muda yang alim guna dijadikan menantu yang kelak dapat membantu memberi pencerahan kepada masyarakat Desa Senori.
Dari usaha itu didapatilah santri alim seperti Kyai Shodiq, asal Banjarworo Bangilan , Kyai Munawwar asal Desa lajo Kidul Singgahan, dan juga Kyai Masyhuri asal Lasem, Jawa Tengah. Dan dari situlah lahir beberapa pesantren salaf di desa tersebut, di antaranya pesantren Al Hidayah yang diasuh oleh Putra kyai Syahid yaitu Kyai Masykur dan iparnya, Kyai Shodiq . Bersamaan itu pula berdiri Pesantren Mansyaul Huda oleh Kyai Munawwar dan Kyai Masyhuri pemimpin pesantren Raudlotut Tholibin Jatisari.
Di sisi lain, Kyai Syahid, salah satu menantu kyai Abdul Mukti (mbah Kontho), asal Desa Sedan Kabupaten Rembang juga merasa prihatin melihat penderitaan masyarakat atas penindasan kolonial yang membuat masyarakat Senori buta huruf, banyak masyarakat tidak diberi kesempatan layak mengenyam pendidikan. Untuk itu suami Nyai Sulminah binti Kontho ini, yang juga pernah “nyantri” kepada Kyai Khozin Desa Tanggir, Singgahan 7 kilometer timur laut Senori tersebut, berinisiatif mendirikan pesantren. Guna mendukung cita-citanya, selain mengkader putranya sendiri, beliau mencari beberapa santri muda yang alim guna dijadikan menantu yang kelak dapat membantu memberi pencerahan kepada masyarakat Desa Senori.
Dari usaha itu didapatilah santri alim seperti Kyai Shodiq, asal Banjarworo Bangilan , Kyai Munawwar asal Desa lajo Kidul Singgahan, dan juga Kyai Masyhuri asal Lasem, Jawa Tengah. Dan dari situlah lahir beberapa pesantren salaf di desa tersebut, di antaranya pesantren Al Hidayah yang diasuh oleh Putra kyai Syahid yaitu Kyai Masykur dan iparnya, Kyai Shodiq . Bersamaan itu pula berdiri Pesantren Mansyaul Huda oleh Kyai Munawwar dan Kyai Masyhuri pemimpin pesantren Raudlotut Tholibin Jatisari.
Merintis Madrasah Formal
Pada
tangal 17 Juli 1929 atau 16 tahun sebelum
Indonesia merdeka atas inisiatif Kyai Masyhuri yang tak lain adalah
menantu
Kyai Syahid, dan tanggapan positif masyarakat Senori terhadap
pendidikan, maka dibangunlah semacam madrasah formal tingkat dasar
atau ibtidaiyah di atas
tanah milik kyai Syahid berbentuk los (tanpa penyekat ruangan)
berdinding kayu
jati yang tepatnya terletak di tenggara masjid jamik Senori sekarang,
Pendirian
ini dimaksudkan guna melengkapi pendidikan pesantren yang telah ada
sebelumnya
yang memang di dalamnya tidak mengajarkan CALISTUNG (Baca, Tulis,
Hitung). Bangunan
madrasah tersebut menghadap utara dengan posisi melintang ke barat .
Untuk
keperluan kelas bangunan los kemudian disekat dengan papan yang dapat
digeser atau dipindahtempatkan
yang oleh masyarakat Senori disebut “Skesel” menjadi 6 ruang . Saat itu
model
skesel ini dinilai paling efektif karena ruangan dapat disesuaikan
dengan
jumlah siswa yang belajar. Kelas 1 menempati ruang paling Timur dan
berjajar ke
Barat hingga kelas 6.
Perintisan pendidikan agama di luar pesantren ini juga
mendapat dukungan positif dari para kiai pemilik pesantren di Senori seperti KH. Munawwar (PP. Mansyaul
Huda), KH. Shodiq, KH. Masykur (PP. Al Hidayah),
KH. Abul Fadlol (PP. Darul Ulum), dan kiai pemilik langgar/musholla seperti,
KH.Thohir KH.Nursyam, K. Khudhori, serta beberapa tokoh masyarakat seperti KH
Nur Salim, KH. Nur Hadi dan para masyarakat sekitar.
Akhirnya masyarakat saling membahu mencurahkan
perhatiannya dengan melibatkan diri dalam pengajaran dan pembangunan, pada awal
berdiri, guru bukan hanya sekedar
mengajar, tapi juga mencari dana operasional dan perawatan. Seksi pembangunan
dipercayakan kepada Bapak Suhaemi yang dikenal tahu kontruksi dan birokrasi, sementara seksi
pendidikan dipercayakan kepada Kyai Haji Masyhuri.
Pertama kali pendidikan ala Madrasah yang dirintis K. Masyhuri dan kawan-kawan ini adalah
madrasah tingkat Ibtidaiyah dan masih
terbatas pada kaum pria saja. Perintisan ini dikenal sebagai cikal-bakal
Madrasah Ibtidaiyah Banin. Delapan tahun
kemudian, setelah melihat pentingnya kiprah muslimat NU dalam masyarakat maka
pada tanggal 17 Oktober 1937 dirintislah Madrasah Ibtidaiyah untuk wanita yang
dikemudian hari dikenal dengan sebutan MI Banat. Keterbatasan gedung, proses
pembelajaran MI Banat dilakukan pada
sore hari.
Pentingnya pendidikan lanjutan usai tamat Madrasah
Ibtidaiyah (MI) mendorong pengurus untuk mendirikan sekolah lanjutan setingkat
menengah pertama atau Madrasah Tsanawiyah, maka pada tanggal I Juli 1958
dirintislah pendirian Sekolah menengah Pertama yang diberi nama MTs Islamiyah yang putra disebut MTs Islamiyah Banin, dan yang putri MTs Islamiyah Banat.
Dalam perekembangnnya.pada tahun 1997 MTs Islamiyah dipecah secara administratif dari satu kepala madrasah yang saat itu dikepalai Bapak KH.Mmawahib Suyuthi, menjadi dua pimpinan. MTs Putra Banin dipimpini Bapak KH. Mudjammik, sedangkan MTs Banat oleh Bapak KH. Mawahib Suyuthi .Adapun waktu pembelajarannya MTs Putra masuk sekolah pagi hari dan Banat sore hari, hingga sekarang.
Meletusnya Gerakan 30/S PKI pada tahun 1965 telah
menoreh keperhatinan para pendiri madrasah untuk lebih dapat membentengi masyarakat dari faham
komunisme sejak usia dini, maka pada tanggal 1 September 1966 didirikanlah
pendidikan Raoudltul Athfal (RA) yang menempati bangunan milik K. Masykur di Desa
Sendang atau 100 meter Barat Laut dari tempat gedung MI dan MTs
Islamiyah Jatisari dibangun.
Selanjutnya guna menampung lulusan MTs. Baik Banin
maupun Banat, maka pada tahun 1970 dirintislah sekolah lanjutan Atas atau Aliyah.
Namun sayang usia Madrasah Aliyah (MA) pereode
I ini tidak begitu panjang.
Konon hal itu
dipicu karena persoalan politik.
Nahdlotul Ulama’ (NU) yang turut
dalam percaturan politik pada pemilu pertama tahun 1971 butuh dukungan
kongret dari warga Nahdliyin, Sementara di sebagian masyarakat kehadiran partai NU masih ditanggapi dingin. Hal
demikian memprihatinkan dan menarik para
Guru Aliyah yang tak lain adalah para kader NU untuk lebih all out
memperjuangkan partai NU bisa menang baik
ditingkat ranting, anak cabang, cabang, wilayah hingga
pusat di Jakarta. Para guru Aliyah
khawatir PKI yang saat itu mulai mendapat simpati masyarakat awam, akan
menguasai parlemen dan itu ancaman bagi Bangsa Indonesia yang mayoritas muslim.
Terlebih sikap arogansi PKI yang selalu kurang simpati terhadap para kyai dan
santri, mendorong para guru Aliyah Senori lebih terfokus pada dunia politik
daripada dunia pendidikan. Madrasah Aliyah pereode I ini akhirnya hanya bisa
bertahan 2 tahun saja, setelah itu
matisuri hampir 10 tahun.
MA pereode ke II baru bangkit dari tidur lelap setelah
suasana menjadi lebih tenang, tepatnya pada 1 Juni 1981, saat penerimaan siswa
baru tahun tersebut pengurus madrasah telah membuka pendaftaran baru bagi siswa
tingkat lanjutan atau Aliyah dengan penuh tanggung jawab, KH. In’am Husnan, BA dipercaya memimpinnya.
Untuk membantu memperdalam pengetahuan agama bagi siswa MA dan MTs yang tidak tinggal di pesantren, pengurus
merintis Madrasah Diniyyah pada 1 Juni 1998
Adapun jenjang yang dibuka adalah kelas Ula dan
Wustho.
Berbentuk Yayasan
Pada Sabtu 21 Juni 1997, pengurus
madrasah Islamiyah yang diketuai KH. Mas’udi putra KH. Shodiq datang ke notaris
Nurul Yakin, SH Tuban untuk mendaftarkan
Lembaga Madrasah Islamiyuah (MIS)
menjadi yayasan. Selanjutnya oleh Notaris Nurul Yakin, SH berkas diregestrasi
dengan nomor 52. Selanjutnya berkas didaftarkan
ke panitera Pengadilan Negeri Tuban pada Selasa 24 Juni 1997 untuk mendapatkan
legalitas, oleh panitera Pengadilan Negeri Tuban Syaiful Bachri, SH, berkas didaftar
dengan nomor 11/1997.
Melihat adanya prospektif pendidikkan di Senori,
pengurus madrasah pereode ke II tersebut bertekat mengupayakan lembaga berbadan
hukum, hal itu dimaksudkan agar lebih legal
formal dan memiliki kekuatan yang berdampak pada kepercayaan pemerintah dan
masyarakat dalam mengelola dana yang disumbangkan kepadanya. Rintisan KH. Mas’udi
Shodiq ternyata manjur perubahan status dari pengurus menjadi yayasan mendapat
tanggapan positif bagi birokrasi yang
berdampak pula pada kemudahan mencari dana pembangunan dan pengembangan
madrasah.
Keinginan untuk masuk sekolah di madrasah Senori
semakin tinggi terlebih di tingkat Aliyah, hanya di satu sisi hal tersebut meninggalkan
persoalan sebab tidak semua calon siswa baru
Aliyah berlatar belakang MTs atau background agama, banyak di antara
mereka lulusan SMP atau umum, akibatnya saat belajar di MA yang mayoritas
pelajaran kajian kitab kuning (klasik), membuat mereka kesulitan berinteraksi dengan
pelajaran-pelajaran agama tersebut. Melihat hal demikian dan memperhatikan
aspirasi masyarakat umum, pengurus yayasan akhirnya membuka pendidikan setara
Aliyah yang pelajarannya disesuaikan dengan latar belakang SMP, maka tanggal 17
Juli 2002 berdirilah Sekolah Menengah Atas Islamiyah yang kini dikenal SMAI.
Setelah
dirasa yayasan sunnatunnur berdiri mantap, pada tahun yang sama yaitu
2002, pengurus berupaya meningkatkan Sumber Daya Guru (SDG) di
lingkungan yayasan Sunnatunnur. Dr. H.
Zainurrofiq, putra KH. Mas’udi Shodiq, selaku ketua pelaksana harian
yayasan
Sunnatunnur saat itu memprogramkan bahwa pada tahun 2004 semua guru di
lingkungan yayasan Sunnatunnur harus
sudah berkualifikasi sarjana S-1. Untuk
menyukseskan program tersebut, pengurus menggandeng beberapa perguruan
tinggi
(PT) yang ada di Tuban dan Bojonegoro untuk kerjasama. Selanjutnya guna
memudahkan proses perkuliahan efektif digagaslah kelas jauh yakni kuliah
cukup di lingkungan yayasan Sunnatunnur
dengan hak dan kewajiban yang sama dengan induk perguruan Tinggi yang
dimaksud.
Agar program ini tidak memberatkan guru MIS yang ingin kuliah, yayasan
juga memberi tunjangan berupa subsidi separo biaya SPP.
Saat itu Perguruan Tinggi yang digandeng adalah STAI
Sunan Giri Bojonegoro dan IKIP PGRI
Tuban (nama Sebelum menjadi Unirow). Adapun untuk mengatur sesuatunya yayasan mempercayakan kepada Drs.
H. Abdul Mu’in, SH, MBA untuk memimpinnya.
Program Studi (prodi) yang dipilih dari STAI Sunan
Giri Bojonegoro saat itu adalah Fakultas Tarbiyah dengan jurusan Pendidikan
Agama Islam (PAI) dan Syariah jurusan Muamalah. Adapun IKIP PGRI Tuban S-1
program ekonomi. Namun sayang S-1 Ekonomi Unirow ini hanya berjalan satu
semester karena suatu hal, di antaranya karena meninggalnya sang koordinator Drs. Abdul
Mu’in. Sementara itu Pelaksana Harian
(PLH), dr. H. Zainurrofiq yang tak lain wakil ketua II yayasan Sunnatunnur, masih
mengalami keterbatasan akses ke IKIP PGRI Tuban disebabkan belum konkretnya
kontrak kerja sama (MoU) yang diurus Bapak
Drs. Abdul Muin tersebut. Berlarutnya kontrak kerja ini konon juga disebabkan
belum adanya kesepakatan biaya kuliah antar kedua pihak yang dinilai terlalu memberatkan.
Hingga akhirnya diputuskan untuk
membatalkan S-1 Ekonomi dengan mengembalikan biaya pendaftaran mahasiswa
yang terlanjur daftar kuliah. Selanjutnya hanya STAI Sunan Giri Bojonegoro
fakultas Tarbiyah dan Syariah yang tetap
eksis memberi perkuliahan kelas jauh di Senori. Hanya Fakultas Syariah akhirnya
juga mengalami layu, mengingat saat itu hanya
diminati 4 mahasiswa, maka setahun kemudian
semua mahasiswa fakultas Syariah yang
ada di Senori diindukkan ke STAI Bojonegoro hingga yang tersisa tinggal S-1 Tarbiyah jurusan PAI hingga
sekarang.
Tahun 2005, atas masukan berbagai pihak
dirintislah program D-II PGMI di
lingkungan Sunnatunnur. Inisiatif Drs. Abdul Kholiq selaku koordinator daerah pengganti
PLH dr.H. Zainurrofiq ini direspon
positif oleh pengurus yayasan, maka digandenglah D-II PGMI Sekolah Tinggi
Makdum Ibrahim (STITMA) Tuban untuk kelas ekstention di Senori. Namun juga sayang , setahun
kemudian tepatnya 2006 diwacanakan pemerintah akan menghapus program D-II di
Indonesia sebagaimana pemerintah pernah menghapus Pendidikan Guru Agama (PGA)
tahun 90-an. Wacana tersebut mengakibatkan program D-II di Sunnatunnur tersendat dan akhirnya
hanya mewisuda satu angkatan.
Adapun sekolah tinggi yang hingga sekarang masih eksis
di lingkungan yayasan sunnatunnur adalah STAI Sunan Giri Bojonegoro fakultas
Tarbiyah jurusan PAI yang telah meluluskan sekitar 62 mahasiswa hingga tahun 2011/2012 ini .
Bangunan Pisik
Pada tahun 1981 bangunan madrasah Islamiyah mulai mengalami
perubahan signifikan, Bangunan dari kayu
jati berubah menjadi beton bertingkat.
Berawal dari penggeseran gedung MI lama ke Barat dan ditanamnya pondasi gedung
bertingkat 2 berbentuk” L” di tempat tersebut yang membujur ke barat dan utara
mengelilingi masjid jamik Senori. Tak lama kemudiaan dibangun pula gedung yang
juga berbentuk “L” dengan 4 ruang bawah dan 3 ruang lantai atas di sebelah Barat
Laut masjid jamik atau pojok simpang empat Senori.
Banyaknya masyarakat yang ingin bersekolah ke Madrasah
Islamiyah Senori yang biasa di singkat MIS, memaksa pengurus madrasah harus
menambah ruang belajar, tapi sayang tanah sudah tidak mencukupi lagi, sehingga
mamaksa beberapa bangunan lama dibongkar dan dibangun berkontruksi tingkat
seperti yang dilakukan pada gedung
Madrasah Ibtidaiyah di Barat Daya masjid yang menghadap ke Timur yang kini
ditempati kantor dan ruang belajar siswi Ibtidaiyyah Banin.
Setelah dapat membebaskan tanah milik KH. In’am
Husnan, BA yang terletak di Timur gedung lama
pada tahun 2002 pengurus yayasan akhirnya
mampu membangun gedung lantai 2 dengan 6 ruang yang menghadap ke Timur. Gedung
tersebut kini ditempati siswa MA program IPA dan Bahasa. Pada tahun 2004
madrasah dapat menambah fasilitas gedung dengan membangun 3 ruang belajar pada
tahap 1 dan 7 ruang belajar pada tahap
II. Di Selatan gedung MA program bahasa dan IPA tersebut yang kini ditempati kantor MA dan ruang belajar
siswa program IPS.
Selanjutnya Pada tahun 2006 atas bantuan pemerintah
dibangunlah 3 gedung dasar MA/SMA yang terletak disamping jalan raya K. Djoned
pada pereode I dan dilanjutkan 6 ruang
di atasnya hingga menjadi gedung megah lantai tiga yang kini di tempati SMAI. Gedung yang selesai pembangunanya
tahun 2010 ini di samping berfungsi sebagai ruang belajar juga
terdapat kantor SMA, laboratorium bahasa
dan laboratorium computer, sekaligus
berperan sebagai bangunan pintu gerbang masuk
gedung MA.
Kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan di Senori
memaksa pengurus harus terus mencari alternative lahan untuk pemgembanganan dan
pembangunan gedung. Pada tahun 2009, pengurus dapat membebaskan lagi tanah
milik Bapak K. Hilaluddin Qomar yang terletak
di Barat jalan raya Senori- Leran. Di lahan tersebut kini berdiri kokoh gedung
3 ruang untuk siswa MI Banat.
Memasuki
tahun ajaran baru 2011/2012 pengurus yayasan
Sunnatunnur telah membuka SMK Negeri filial SMK Negeri Jojogan Singgahan
Tuban
dengan dua jurusan sekaligus yakni mesin dan tata busana. Hanya karena
fasilitas gedung kurang dapat menampung jumlah siswa, akhirnya tanah
K. Abul Fadhol yang telah dibeli yayasan dibangun menjadi gedung
berlantai 2 dengan 6 ruang yang dapat
menampung 240 siswa baru. Kehadiran SMK di lingkungan Sunnatunnur
ternyata menjadi
daya tarik masyarakat Senori, bahkan mampu menggeser eksistensi SMAI.
Pada
angkatan pertama ini setidaknya butuh 3
ruang untuk menampung mereka. Karena keterbatasan tempat belajar untuk
sementara mereka menempati gedung yang kini
ditempati SMA.
Yayasan Sunnatunnur yang hingga tahun ajaran baru
2011/12 ini memiliki siswa lebih dari 3000
siswa dari berbagai jenjang ini telah melengkapi diri dengan berbagai fasilitas
pendidikan dan inventarisasi, mulai penambahan ruang belajar, perlengkapan media
pembelajaran, laboratorium bahasa, IPA, computer, marching band, serta inventarisasi
sebuah mobil jenis APV untuk operasional.
Kini Jatisari atau yang lebih dikenal dengan sebutan Senori
telah menjilma menjadi sebuah desa poros pendidikan yang ilmiah dan religius,
banyak pesantren berdiri melengkapi pesantren yang ada lebih dulu , sebut saja
Pesantren Putri Mansyaul Huda-2, yang diasuh Mbah KH. Muhammad Muhyiddin,
Pesantren Putri Annihayah pimpinan K.H. Maulani, Pesantren Al Husna, asuhan KH.
Syamsul Huda, Pesantren Putri Roudlotut Tholibin, asuhan KH. Minanurrohman, Pesantren putri An Nasyiah
Aljadidah pimpinan K. Jauharuddin, Pesantren Jabal Qubais, pimpinan KH. Fathoni
Thohir. Pesantren Darul Ulum Al Fadloli asuhan KH Abdul Jalil. Serta beberapa pesantren yang
terletak di Desa Sendang seperti Pesantren Darut Tauhid Al Alawi asuhan KH
Ahmad Shiddiq, Pesantren Darut Tauhid Al Hasaniyah, pimpinan KH. Nasiruddin,
Pesantren Alqur’an asuhan KH. Musyaffak.
(T41N)
Laporan A.
Musta’in, diolah dari berbagai sumber
mohon klarifikasi dan di cek kembali "pada tahun 2005 MTs Islamiyah dipecah menjadi Banin dan Banat".
BalasHapussaya masuk MTS pada tahun 2002 sudah ada MTS Banin & Banat