Senin, 16 Juli 2012

History Of Madrasah Aliyah Islamiyah


Tampak Lautan di Senori

 Jatisari merupakan desa agraris yang terletak 5 kilometer utara kaki Gunung Gong, Banyuurip, Kecamata Senori, atau 50 kilometer barat daya kota Kabupaten Tuban Jawa Timur. Desa yang lebih dikenal dengan sebutan Senori ini  merupakan dua kampung kecil yang terbagi atas dua dusun yaitu Jatisari  untuk sebutan kampung timur dan Jatileres untuk barat, Desa  tersebut memiliki dua aliran sungai, yaitu  sungai “Kaligede” yang merupakan   anak kaki gunung Gong Banyuurib yang membelah kampung Jatisari,  dan “Kali Jati” yang menjadi pembatas dengan Dusun Jatileres.    Mata pencaharian utama penduduk kedua dusun tersebut adalah tani dan ternak, secara geografis baik krajan Jatisari maupun Dusun Jatileres sebenarnya tergolong kurang agraris, tanah pertanian di kedua dusun tersebut sangat tergantung air hujan (sawah tadah, sawah bathok) , belum ada irigasi. Berbeda dengan  desa yang terletak tepat di utara desa Jatisari yaitu Desa Sendang yang terdapat air melimpah. Nama Sendang konon diambil karena kampung tetangga di  utara Desa Jatisari ini terdapat sebuah telaga dan sungai yang juga membelah desa Sendang selalu berair sepanjang musim, sumber air di tanah-tanah penduduk juga sangat melimpah, hingga tanah pertanian cukup subur.             
 Berawal dari Desa Sendang inilah terdapat pendatang kaya asal kota Padangan Bojonegoro yang bernama Carik Kontho dan istri, konon beliau datang ke Senori untuk berdagang dan berdakwah bersama  adiknya, Koyo, yang tinggal di Desa Leran Selatan desa Jatisari. Bila dibandingkan dengan  Desa Leran, Desa Jatisari juga dinilai kurang ekonomis, sebab pusat perdagangan warga (pasar) saat itu bertempat di Desa Leran tersebut, bukan di Jatisari seperti yang ada sekarang, konon tepatnya di sekitar masjid jamik Desa Leran sekarang.
  Nasib baik dialami Carik Kontho yang tinggal di Desa Sendang yang oleh masyarakat Senori akhirnya dikenal dengan nama Kyai Abdul Mukti, beliau dikenal sebagai sosok pekerja keras hingga berhasil dalam  usaha terutama mengelola pertanian. Hanya di tempat tinggal barunya tersebut yakni Desa Sendang yang juga perbatasan dengan Jatisari konon sering terjadi perkelaian antarwarga terutama mereka yang memiliki ilmu kedigdayaan, tempat tersebut juga sering dijadikan ajang pertemuan para jawara untuk mengadu kasaktian, hingga Desa Senori (sebutan untuk Desa Jatisari) ini dulu dikenal juga dengan sebutan kampung jawara (pendekar), banyak orang sakti yang tinggal di tempat itu, bahkan orang luar desa datang  ke Senori untuk beradu kesaktian. Namun sayang para pendekar  yang rata-rata belum dalam ilmu agamanya banyak membuat ulah di tengah masyarakat, hingga penduduk asli merasa resah.
 Hal demikian menarik Kyai Abdul Mukti untuk mendatangkan seorang alim yang juga sakti dari sebuah kampung di Desa Sedan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, beliau adalah Mbah Kyai  Gusno.
Kedatangan Kyai Gusno, bukan tanpa hambatan, beliau datang langsung berhadapan dengan para jawara baik yang benar-benar ingin adu kesaktian  maupun yang hanya ingin main-main dengan kyai yang memiliki nama lain  Abdul Qohir  ini. Namun karena  ilmu kesaktiannya yang mumpuni, beberapa pendekar takluk dihadapan mbah Gusno, termasuk Ki Sumorantam, pendekar sakti yang pernah ada saat itu. Melalui putra mbah Gusno yakni Kyai Hambali, Ki Sumorantam dapat ditaklukkan dalam sebuah pertempuran jawara . Ki Sumorantam, tokoh kontroversi yang pernah  teter (imbang) beradu kasaktian dengan Kyai alim satu kampung, yaitu Kyai Zainuri atau lebih dikenal dengan nama Kyai Janur yang keduanya sama-sama putra asli Desa Leran itu mengakui kehebatan keluarga Kyai Gusno.
Untuk menjaga ketentraman warga, konon Kyai Gusno  juga terpaksa memberi tumbal Desa Senori dari orang-orang  jahat yang berniat mengganggu  masyarakat Senori. Tumbal itu berupa bayangan menyerupai lautan yang bergelombang besar saat orang mancadesa hendak berbuat jahat di desa tersebut. Bahkan para perampok yang  telah dapat masuk ke Senori bisa kehilangan arah untuk tidak dapat keluar desa lagi, Di samping itu  “Kyai macan putih” milik Mbah Gusno akan berjaga mengelilingi kampung saat malam hari tiba guna membantu ketentraman warga Senori.
Di samping memiliki ilmu kanuragan, Kyai Gusno juga alim dalam  bidang agama, selanjutnya guna lebih dekat dengan masyarakat, ilmu ketabiban yang beliau kuasai  dijadikan media untuk  menyatu dengan lingkungannya.
Makam mbah kyai Gusno  terletak dipemakaman umum Desa Jatisari yang lebih dikenal sebutan makam Pontang, nama “Pontang” sendiri konon juga diambil dari nama orang sakti yang  jasadnya kali pertama dimakamkan di tempat tersebut, hanya Gem@s belum bisa menelusuri cerita tersebut.
Sepeningal Mbah Gusno, perjuangan diteruskan oleh salah satu putranya yaitu Kyai Djoned. Ilmu riyadhoh dan kanuragaan yang diperoleh dari abahnya terus digunakan untuk membantu masyarakat dalam mengatasi  persoalan hidup. Kehebatan mbah Djoned menyamai abahnya, Kyai Gusno. Karena jasa perjuangannya dalam membantu masyarakat Senori, oleh pemerintah Kecamatan Senori kini namanya diabadikan menjadi nama sebuah jalan  desa, tepatnya jalan raya  Jatisari arah timur hingga batas Desa Wanglu Wetan Senori.
Bidang Pendidikan 
Di sisi lain,  Kyai Syahid, salah satu menantu kyai Abdul Mukti (mbah Kontho), asal  Desa Sedan Kabupaten Rembang  juga merasa prihatin melihat penderitaan masyarakat atas penindasan kolonial yang membuat masyarakat Senori buta huruf, banyak masyarakat  tidak diberi kesempatan layak mengenyam pendidikan. Untuk itu suami Nyai Sulminah binti Kontho ini, yang juga pernah “nyantri” kepada Kyai Khozin  Desa Tanggir, Singgahan 7 kilometer  timur  laut Senori tersebut, berinisiatif mendirikan pesantren. Guna mendukung cita-citanya,  selain mengkader putranya sendiri, beliau mencari beberapa santri muda yang alim guna dijadikan menantu yang kelak dapat  membantu memberi pencerahan kepada masyarakat Desa Senori. 
Dari usaha itu didapatilah santri alim seperti Kyai Shodiq, asal Banjarworo Bangilan , Kyai Munawwar  asal  Desa lajo Kidul Singgahan, dan juga Kyai Masyhuri asal  Lasem,  Jawa Tengah. Dan dari situlah lahir beberapa pesantren salaf di desa tersebut, di antaranya  pesantren Al Hidayah yang diasuh oleh Putra kyai Syahid yaitu Kyai Masykur dan  iparnya, Kyai Shodiq . Bersamaan itu pula berdiri Pesantren  Mansyaul Huda  oleh  Kyai Munawwar dan  Kyai Masyhuri pemimpin pesantren Raudlotut Tholibin Jatisari.

Merintis Madrasah Formal

Pada tangal 17 Juli 1929 atau 16 tahun sebelum Indonesia merdeka atas inisiatif Kyai Masyhuri yang tak lain adalah menantu Kyai Syahid, dan  tanggapan positif   masyarakat Senori terhadap pendidikan, maka  dibangunlah  semacam madrasah  formal tingkat dasar atau ibtidaiyah di atas tanah milik kyai Syahid berbentuk los (tanpa penyekat ruangan) berdinding kayu jati yang tepatnya terletak di tenggara masjid jamik Senori sekarang, Pendirian ini dimaksudkan guna melengkapi pendidikan pesantren yang telah ada sebelumnya yang memang di dalamnya tidak mengajarkan CALISTUNG (Baca, Tulis, Hitung). Bangunan madrasah tersebut menghadap utara dengan posisi melintang ke barat . Untuk keperluan kelas bangunan los kemudian disekat dengan papan  yang dapat digeser atau dipindahtempatkan yang oleh masyarakat Senori disebut “Skesel” menjadi 6 ruang . Saat itu model skesel ini dinilai paling efektif karena ruangan dapat disesuaikan dengan jumlah siswa yang belajar. Kelas 1 menempati ruang paling Timur dan berjajar ke Barat hingga kelas 6.
Perintisan pendidikan agama di luar pesantren ini juga mendapat dukungan positif dari para kiai pemilik pesantren di Senori  seperti KH. Munawwar (PP. Mansyaul Huda),  KH. Shodiq, KH. Masykur (PP. Al Hidayah), KH. Abul Fadlol (PP. Darul Ulum), dan kiai pemilik langgar/musholla seperti, KH.Thohir KH.Nursyam, K. Khudhori, serta beberapa tokoh masyarakat seperti KH Nur Salim, KH. Nur Hadi dan para masyarakat sekitar.
Akhirnya masyarakat saling membahu mencurahkan perhatiannya dengan melibatkan diri dalam pengajaran dan pembangunan, pada awal berdiri, guru bukan  hanya sekedar mengajar, tapi juga mencari dana operasional dan perawatan. Seksi pembangunan dipercayakan kepada Bapak Suhaemi yang dikenal  tahu kontruksi dan birokrasi, sementara seksi pendidikan dipercayakan kepada Kyai Haji Masyhuri.
Pertama kali pendidikan ala Madrasah yang dirintis  K. Masyhuri dan kawan-kawan ini  adalah  madrasah tingkat Ibtidaiyah dan masih terbatas pada kaum pria saja. Perintisan ini dikenal sebagai cikal-bakal Madrasah Ibtidaiyah Banin. Delapan tahun kemudian, setelah melihat pentingnya kiprah muslimat NU dalam masyarakat maka pada tanggal 17 Oktober 1937 dirintislah Madrasah Ibtidaiyah untuk wanita yang dikemudian hari dikenal dengan sebutan MI Banat. Keterbatasan gedung, proses pembelajaran MI Banat dilakukan pada  sore hari.
Pentingnya pendidikan lanjutan usai tamat Madrasah Ibtidaiyah (MI) mendorong pengurus untuk mendirikan sekolah lanjutan setingkat menengah pertama atau Madrasah Tsanawiyah, maka pada tanggal I Juli 1958 dirintislah pendirian Sekolah menengah Pertama yang diberi nama MTs Islamiyah yang putra disebut MTs Islamiyah Banin, dan yang putri MTs Islamiyah Banat. Dalam perekembangnnya.pada tahun 1997 MTs Islamiyah dipecah secara administratif dari satu kepala madrasah yang saat itu dikepalai Bapak KH.Mmawahib Suyuthi, menjadi dua pimpinan. MTs Putra Banin dipimpini Bapak KH. Mudjammik, sedangkan  MTs Banat oleh Bapak KH. Mawahib Suyuthi .Adapun waktu pembelajarannya  MTs Putra masuk sekolah  pagi hari dan Banat  sore hari, hingga sekarang.
Meletusnya Gerakan 30/S PKI pada tahun 1965 telah menoreh keperhatinan para pendiri madrasah untuk  lebih dapat membentengi masyarakat dari faham komunisme sejak usia dini, maka pada tanggal 1 September 1966 didirikanlah pendidikan Raoudltul Athfal (RA) yang menempati bangunan milik K. Masykur di Desa Sendang atau 100 meter  Barat Laut dari tempat gedung MI dan MTs Islamiyah Jatisari dibangun.
Selanjutnya guna menampung lulusan MTs. Baik Banin maupun Banat, maka pada tahun 1970 dirintislah sekolah lanjutan Atas atau Aliyah. Namun sayang usia Madrasah Aliyah (MA) pereode  I ini  tidak begitu panjang.
Konon  hal itu dipicu karena persoalan politik.  Nahdlotul Ulama’ (NU) yang turut  dalam percaturan politik pada pemilu pertama tahun 1971 butuh dukungan kongret dari warga Nahdliyin, Sementara di sebagian masyarakat  kehadiran partai NU masih ditanggapi dingin. Hal demikian memprihatinkan dan menarik para  Guru Aliyah yang tak lain adalah para kader NU untuk lebih  all out memperjuangkan  partai NU bisa menang baik ditingkat ranting, anak cabang, cabang, wilayah hingga pusat di  Jakarta. Para guru Aliyah khawatir PKI yang saat itu mulai mendapat simpati masyarakat awam, akan menguasai parlemen dan itu ancaman bagi Bangsa Indonesia yang mayoritas muslim. Terlebih sikap arogansi PKI yang selalu kurang simpati terhadap para kyai dan santri, mendorong para guru Aliyah Senori lebih terfokus pada dunia politik daripada dunia pendidikan. Madrasah Aliyah pereode I ini akhirnya hanya bisa bertahan 2 tahun saja,  setelah itu matisuri hampir 10 tahun.
MA pereode ke II baru bangkit dari tidur lelap setelah suasana menjadi lebih tenang, tepatnya pada 1 Juni 1981, saat penerimaan siswa baru tahun tersebut pengurus madrasah telah membuka pendaftaran baru bagi siswa  tingkat lanjutan  atau Aliyah dengan penuh tanggung jawab,  KH. In’am Husnan, BA dipercaya memimpinnya.
Untuk membantu memperdalam pengetahuan  agama bagi siswa MA dan MTs yang  tidak tinggal di pesantren, pengurus merintis  Madrasah  Diniyyah pada 1 Juni 1998
Adapun jenjang yang dibuka adalah kelas Ula dan Wustho.

Berbentuk Yayasan
Pada Sabtu 21 Juni 1997, pengurus madrasah Islamiyah yang diketuai KH. Mas’udi putra KH. Shodiq datang ke notaris Nurul Yakin, SH Tuban untuk mendaftarkan  Lembaga Madrasah Islamiyuah  (MIS) menjadi yayasan. Selanjutnya oleh Notaris Nurul Yakin, SH berkas diregestrasi dengan nomor 52. Selanjutnya berkas  didaftarkan ke panitera Pengadilan Negeri Tuban pada Selasa 24 Juni 1997 untuk mendapatkan legalitas, oleh panitera Pengadilan Negeri Tuban Syaiful Bachri, SH, berkas didaftar dengan  nomor 11/1997.
Melihat adanya prospektif pendidikkan di Senori, pengurus madrasah pereode ke II tersebut bertekat mengupayakan lembaga berbadan hukum, hal itu dimaksudkan agar lebih  legal formal dan memiliki kekuatan yang berdampak pada kepercayaan pemerintah dan masyarakat dalam mengelola dana yang disumbangkan kepadanya. Rintisan KH. Mas’udi Shodiq ternyata manjur perubahan status dari pengurus menjadi yayasan mendapat tanggapan positif  bagi birokrasi yang berdampak pula pada kemudahan mencari dana pembangunan dan pengembangan madrasah.
Keinginan untuk masuk sekolah di madrasah Senori semakin tinggi terlebih di tingkat Aliyah, hanya di satu sisi hal tersebut meninggalkan persoalan sebab tidak semua calon siswa baru  Aliyah berlatar belakang MTs atau background agama, banyak di antara mereka lulusan SMP atau umum, akibatnya saat belajar di MA yang mayoritas pelajaran kajian kitab kuning (klasik), membuat mereka kesulitan berinteraksi dengan pelajaran-pelajaran agama tersebut. Melihat hal demikian dan memperhatikan aspirasi masyarakat umum, pengurus yayasan akhirnya membuka pendidikan setara Aliyah yang pelajarannya disesuaikan dengan latar belakang SMP, maka tanggal 17 Juli 2002 berdirilah Sekolah Menengah Atas Islamiyah yang kini dikenal SMAI.
Setelah dirasa yayasan sunnatunnur berdiri mantap,  pada tahun yang sama  yaitu 2002, pengurus berupaya  meningkatkan Sumber Daya Guru (SDG) di lingkungan yayasan Sunnatunnur.  Dr. H. Zainurrofiq, putra KH. Mas’udi Shodiq, selaku ketua pelaksana harian yayasan Sunnatunnur saat itu memprogramkan bahwa pada tahun 2004  semua guru di lingkungan yayasan Sunnatunnur harus sudah berkualifikasi sarjana  S-1. Untuk menyukseskan program tersebut, pengurus menggandeng beberapa perguruan tinggi (PT) yang ada di Tuban dan Bojonegoro untuk kerjasama. Selanjutnya guna memudahkan proses perkuliahan efektif digagaslah kelas jauh yakni kuliah cukup  di lingkungan yayasan Sunnatunnur dengan hak dan kewajiban yang sama dengan induk perguruan Tinggi yang dimaksud. Agar program ini tidak memberatkan guru MIS yang ingin kuliah, yayasan juga memberi  tunjangan berupa subsidi separo biaya SPP.
Saat itu Perguruan Tinggi yang digandeng adalah STAI Sunan Giri Bojonegoro  dan IKIP PGRI Tuban (nama Sebelum menjadi Unirow). Adapun untuk mengatur  sesuatunya yayasan mempercayakan kepada Drs. H. Abdul Mu’in, SH, MBA untuk memimpinnya.
Program Studi (prodi) yang dipilih dari STAI Sunan Giri Bojonegoro saat itu adalah Fakultas Tarbiyah dengan jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Syariah jurusan Muamalah. Adapun IKIP PGRI Tuban S-1 program ekonomi. Namun sayang S-1 Ekonomi Unirow ini hanya berjalan satu semester karena suatu hal, di antaranya karena  meninggalnya sang koordinator Drs. Abdul Mu’in. Sementara itu  Pelaksana Harian (PLH), dr. H. Zainurrofiq yang tak lain wakil ketua II yayasan Sunnatunnur, masih mengalami   keterbatasan akses ke  IKIP PGRI Tuban disebabkan belum konkretnya kontrak kerja sama (MoU) yang diurus  Bapak Drs. Abdul Muin tersebut. Berlarutnya kontrak kerja ini konon juga disebabkan belum adanya kesepakatan biaya kuliah antar kedua pihak yang dinilai terlalu memberatkan. Hingga akhirnya diputuskan untuk  membatalkan S-1 Ekonomi dengan mengembalikan biaya pendaftaran mahasiswa yang terlanjur daftar kuliah. Selanjutnya hanya STAI Sunan Giri Bojonegoro fakultas Tarbiyah dan Syariah yang  tetap eksis memberi perkuliahan kelas jauh di Senori. Hanya Fakultas Syariah akhirnya juga mengalami layu, mengingat  saat itu hanya diminati 4 mahasiswa, maka setahun kemudian  semua mahasiswa  fakultas Syariah yang ada di Senori diindukkan ke STAI Bojonegoro hingga yang tersisa  tinggal S-1 Tarbiyah jurusan PAI hingga sekarang.
Tahun 2005, atas masukan berbagai pihak dirintislah  program D-II PGMI di lingkungan Sunnatunnur. Inisiatif Drs. Abdul Kholiq selaku koordinator daerah pengganti PLH  dr.H. Zainurrofiq ini direspon positif oleh pengurus yayasan, maka digandenglah D-II PGMI Sekolah Tinggi Makdum Ibrahim (STITMA) Tuban untuk kelas ekstention  di Senori. Namun juga sayang , setahun kemudian tepatnya 2006 diwacanakan pemerintah akan menghapus program D-II di Indonesia sebagaimana pemerintah pernah menghapus Pendidikan Guru Agama (PGA) tahun 90-an. Wacana tersebut mengakibatkan  program D-II di Sunnatunnur tersendat dan akhirnya hanya mewisuda satu angkatan.
Adapun sekolah tinggi yang hingga sekarang masih eksis di lingkungan yayasan sunnatunnur adalah STAI Sunan Giri Bojonegoro fakultas Tarbiyah jurusan PAI yang telah meluluskan sekitar 62  mahasiswa hingga tahun 2011/2012 ini .

Bangunan Pisik
Pada tahun 1981 bangunan madrasah Islamiyah mulai mengalami perubahan signifikan,  Bangunan dari kayu jati berubah menjadi  beton bertingkat. Berawal dari penggeseran gedung MI lama ke Barat dan ditanamnya pondasi gedung bertingkat 2 berbentuk” L” di tempat tersebut yang membujur ke barat dan utara mengelilingi masjid jamik Senori. Tak lama kemudiaan dibangun pula gedung yang juga berbentuk “L” dengan 4 ruang bawah dan 3 ruang lantai atas di sebelah  Barat  Laut masjid jamik  atau pojok  simpang empat Senori.
Banyaknya masyarakat yang ingin bersekolah ke Madrasah Islamiyah Senori yang biasa di singkat MIS, memaksa pengurus madrasah harus menambah ruang belajar, tapi sayang tanah sudah tidak mencukupi lagi, sehingga mamaksa beberapa bangunan lama dibongkar dan dibangun berkontruksi tingkat seperti yang dilakukan pada  gedung Madrasah Ibtidaiyah di Barat Daya masjid yang menghadap ke Timur yang kini ditempati kantor dan ruang belajar siswi Ibtidaiyyah Banin.
Setelah dapat membebaskan tanah milik KH. In’am Husnan, BA yang terletak di Timur gedung lama  pada tahun 2002  pengurus yayasan akhirnya mampu membangun gedung lantai 2 dengan 6 ruang yang menghadap ke Timur. Gedung tersebut kini ditempati siswa MA program IPA dan Bahasa. Pada tahun 2004 madrasah dapat menambah fasilitas gedung dengan membangun 3 ruang belajar pada tahap 1 dan 7 ruang belajar  pada tahap II. Di Selatan gedung MA program bahasa dan IPA tersebut yang  kini ditempati kantor MA dan ruang belajar siswa program IPS.
Selanjutnya Pada tahun 2006 atas bantuan pemerintah dibangunlah 3 gedung dasar MA/SMA yang terletak disamping jalan raya K. Djoned pada pereode I dan dilanjutkan  6 ruang di atasnya hingga menjadi gedung megah lantai tiga yang kini di tempati  SMAI. Gedung yang selesai pembangunanya tahun  2010 ini  di samping berfungsi sebagai ruang belajar juga  terdapat kantor SMA, laboratorium bahasa dan laboratorium computer,  sekaligus berperan sebagai bangunan pintu gerbang masuk  gedung MA.
Kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan di Senori memaksa pengurus harus terus mencari alternative lahan untuk pemgembanganan dan pembangunan gedung. Pada tahun 2009, pengurus dapat membebaskan lagi tanah milik  Bapak K. Hilaluddin Qomar yang terletak di Barat jalan raya Senori- Leran. Di lahan tersebut kini berdiri kokoh gedung 3 ruang untuk siswa MI Banat.
Memasuki tahun ajaran baru 2011/2012 pengurus yayasan Sunnatunnur telah membuka SMK Negeri filial SMK Negeri Jojogan Singgahan Tuban dengan dua jurusan sekaligus yakni mesin dan tata busana. Hanya karena fasilitas gedung kurang dapat menampung jumlah siswa, akhirnya tanah   K. Abul Fadhol yang telah dibeli yayasan  dibangun menjadi  gedung berlantai 2 dengan 6 ruang yang dapat menampung 240 siswa baru. Kehadiran SMK di lingkungan Sunnatunnur ternyata menjadi daya tarik masyarakat Senori, bahkan mampu menggeser eksistensi SMAI. Pada angkatan pertama ini setidaknya  butuh 3 ruang untuk menampung mereka. Karena keterbatasan tempat belajar untuk sementara mereka menempati  gedung yang kini ditempati SMA.
Yayasan Sunnatunnur yang hingga tahun ajaran baru 2011/12 ini memiliki siswa  lebih dari 3000 siswa dari berbagai jenjang ini telah melengkapi diri dengan berbagai fasilitas pendidikan dan inventarisasi, mulai penambahan ruang belajar, perlengkapan media pembelajaran, laboratorium bahasa, IPA, computer, marching band, serta inventarisasi sebuah mobil jenis APV  untuk operasional.
Kini Jatisari atau yang lebih dikenal dengan sebutan Senori telah menjilma menjadi sebuah desa poros pendidikan yang ilmiah dan religius, banyak pesantren berdiri melengkapi pesantren yang ada lebih dulu , sebut saja Pesantren Putri Mansyaul Huda-2, yang diasuh Mbah KH. Muhammad Muhyiddin, Pesantren Putri Annihayah pimpinan K.H. Maulani, Pesantren Al Husna, asuhan KH. Syamsul Huda, Pesantren Putri Roudlotut Tholibin,  asuhan KH. Minanurrohman, Pesantren putri An Nasyiah Aljadidah pimpinan K. Jauharuddin, Pesantren Jabal Qubais, pimpinan KH. Fathoni Thohir. Pesantren Darul Ulum Al Fadloli asuhan  KH Abdul Jalil. Serta beberapa pesantren yang terletak di Desa Sendang seperti Pesantren Darut Tauhid Al Alawi asuhan KH Ahmad Shiddiq, Pesantren Darut Tauhid Al Hasaniyah, pimpinan KH. Nasiruddin, Pesantren Alqur’an  asuhan KH. Musyaffak. (T41N)
Laporan A. Musta’in, diolah dari berbagai sumber
Hampir 10 Tahun, Aliyah Senori Matisuri
 

Seperti yang ditulis  Gem@s edisi 2 sebelumnya. Sejak berdiri 40 tahun lalu, tepatnya tahun 1970, eksistensi Aliyah Senori yang biasa disingkat MAIS telah mengalami pasang surut yang cukup dramatis. Iklim politik yang terjadi menjelang Pemilihan Umum pertama tahun 1971 itu, terpaksa menyeret sebagian guru Aliyah harus terjun ke panggung politik praktis, Fanatisme partai dianggap menjadi salah satu pemicu keretakan antar pengelola Aliyah, siswa dan masyarakat, kondisi masyarakat yang masih sensitive  memiliki andil besar atas gugurnya janin Aliyah saat itu. proses pembelajaran mengalami  stagnan, dan akhirnya mati suri. Hal itu terjadi hampir 10  tahun.
Kesadaran untuk kembali melanjutkan pendidikan  Aliyah terjadi pada tahun 1981. MA pereode ke II baru bangkit dari tidur lelap setelah suasana menjadi lebih tenang, tepatnya pada 1 Juni 1981, saat penerimaan siswa baru tahun tersebut pengurus madrasah telah membuka pendaftaran baru bagi siswa  tingkat lanjutan  atau Aliyah dengan penuh tanggung jawab.  KH. In’am Husnan, BA dipercaya sebagai nahkodanya
Meski pelajaran muatan local masih mendominasi pelajaran yang diajarkan di MA, Pak In’am, demikian beliau biasa disapa, mencoba memasukkan pelajaran-pelajaran kurikulum pemerintah, hal itu bertujuan agar siswa kelas 3 nantinya dapat mengikuti ujian persamaan dan mendapatkan ijazah formal dari pemerintah disamping ijazah local yang didapat dari LP. Ma’arif dan pengurus MIS sendiri.
Selanjutnya tahun 1994 kendali MA beralih ke tangan KH. Abd. Syukur Suyitno, masa peralihan ini dimanfaatkan Pak Syukur untuk menata dan melanjutkan program  MA sebelumnya lebih transparan, dibantu tenaga administrasi, beliau mulai menertibkan administrasi kantor dan manajemen keuangan serta mengaktifkan peran siswa melalui OSIS. Pada masa itu kali pertama majalah dinding dibuat dan dikelola, majalah dinding 2x1 meter  yang diberi nama “Al Hikmah” tersebut menampung kreasi-kreasi tulis siswa yang diterbitkan dwi mingguan.
Pada tahun 1997 atas  inisiatif H. Mas’udi Shodiq, lembaga pendidikan di bawah naungan pengurus MIS mulai diupayakan berbadan hukum beralih menjadi yayasan. Sejak itulah tidak terkecuali MAIS berada dalam naungan  yayasan baru ”Sunnatunnur”.
Bila pada awal berdirinya MAIS jilid II. Mengikuti ujian akhir di MAN Tuban, tidak demikian pada masa  kepemimpinan  KH. Abd. Syukur Suyitno, MAIS mulai dapat menyelenggarakan ujian nasional di gedung sendiri bahkan MA-MA di kecamata Singgahan, Bangilan dan Jatirogo turut bergabung di  gedung MAIS tersebut, saat itu MAIS dipercaya Depag (nama sebelum beralih menjadi Departemen Kementrian Agama) untuk menjadi penyelenggara UNAS Tuban selatan dengan sebutan Rayon Senori.  Hampir 8  tahun KH. Syukur Suyitno memimpin MAIS, selanjutnya pada tahun 2002 pengurus yayasan mengamanatkan kepada KH. Mawahib Suyuthi untuk mengendalikan  Aliyah, pelan tapi pasti menantu KH. Abdul Ghofur, pengasuh pondok pesantren Mansya’ul Huda 1 ini melakukan rekontruksi manajerial MAIS, dibantu Drs. Gatot Utuh Santoso selaku waka kesiswaan dan K. Fathoni Muhson, waka kurikulum, sepakata menerapkan disiplin madrasah, terlebih sejak yayasan menerbitkan aturan dan tata tertib madrasah , MAIS mencoba melopori merealisasikannya. Beberapa sanksi diterapkan untuk membentuk karakter siswa dan meminimalisir tingkah negative siswa, seperti ngeblong  jam pelajaran, bolos, maupun kerapian siswa.
Perubahan signifikan juga terjadi pada saat itu, kegiatan ektrakurikuler mulai mendapat perhatian khusus, anak –anak seperti diberi darah segar untuk berkreasi dan beraktivitas, bulletin madrasah juga diterbitkan untuk mendampingi majalah dinding yang ada. Prestasi akademik juga mulai diraih, rata-rata mapel peserta UNAS (sebutan sebelum UN) selalu menempati 10 besar Kabupaten Tuban.

Mengukir Prestasi
 MAIS mulai menampakkan taringnya prestasi nonmapel saat Zainab  (kini istri pak Joe, waka kesiswaan) dengan “ Living in Harmony menempatkan namanya sebagai juara 1 pidato bahasa Inggris dalam Hari Amal Bakti (HAB) Depag tahun 2005, dan Jasmani (saat itu ketua OSIS) sebagai juara 1 lomba pidato Bahasa Arab pada even yang sama dengan judul “ Bainal Haq Wal Bathil.
Prestasi demi prestasi telah diraihnya mendorong MA untuk melengkapi jurusan yang ada, IPS yang selama ini ada dipandang  butuh teman berkompetisi, salah satunya harus mendirikan jurusan baru, akhirnya KH. Mawahib  Suyuthi selaku kepala Madrasah mengamanatkan kepada  pak Jauhari Fahmi untuk membantu mendesainnya, berbekal pengalaman di pondok pesantren Darussalam Gontor, Pak Joe, sapaan akrapnya memilih bahasa sebagai jurusan  alternative.
Pada awal berdirinya jurusan bahasa di format istimewa tidak layaknya sebuah jurusan, ia hadir terkesan sebagai sekolah unggulan, matapelajaran dan pengelolaan  diadopsi dari pondok modern Gontor, siswa diasramakan dengan pengajaran full day, percakapan harian menggunakan bahasa arab dan inggris. Perlakuan istimewa tersebut  seperti telah menggeser perhatian terhadap  kakak tertuanya jurusan IPS.
Dua tahun berikutnya dilakukan review terhadap pengelolaan jurusan bahasa, hingga akhirnya dicari jalan tengah, seimbang dalam perhatian dan pengelolaan. Hanya karena didesain untuk menjadi jurusan unggulan, jurusan bahasa dengan matapelajaran tertentu tetap dipertahankan .
Di akhir jabatnnya H. Mawabib, biasa beliau dipanggil, juga mendirikan jurusan IPA, tidak seperti pendirian jurusan bahasa yang cukup fantastic, kelahiran IPA disambut secara sederhana, mungkin karena keterbatasan pengalaman dalam bidang IPTEK untuk mengelola IPA.
 
                                Namun kelahirannya tetap menjadi tumpuan MAIS  ke depan lebih dapat bersaing seperti kedua kakak kandungnya IPS dan Bahasa.
Dua periode KH. Mawahib Suyuthi memimpin Aliyah, selanjutnya MA diamanatkan kepada KH. Mudjammik, A. Md. Tepatnya pada tahun Juli 2008
Dengan moto “ selalu ada yang baru dari Aliyah Senori”, administrator yang juga aktif dibeberapa organisasi keagamaan dan sosial ini merekontruksi total manajemen Aliyah. Hal itu dilakukan  untuk lebih memantapkan administrasi madrasah secara proporsional. Tertib administrasi adalah cita-cita Pak Djamik, panggilan harian beliau,  tiap kali memimpin organisasi  dengan manajemen dan administrasi yang baik perkembangan madrasah akan lebih mudah diraih.
Dibantu Ibu Faridatul Aliyah, S.Ag sebagai waka kurikulum dan Bapak Jauhari Fahmi selaku waka kesiswaan, saling membahu berusaha mewujudkan MAIS lebih baik  lagi. Keinginan  yayasan tahun 2009 sebagai tahun prestasi juga ditangkap positif oleh mereka. Diawali  dengan ditunjuknya siswa MAIS  untuk mengikuti lomba porseni MA Se Jatim di Kediri, mampu menempatkan  satu wakil MA Senori sebagai nominator 5 pencerita terbaik se Jatim.
Dilanjutkan dengan prestasi akademik siswa MAIS dalam olimpiode mapel  yang diselenggarakan KKM se eks Karisidenan Bojonegoro, dapat menempatkan wakil siswa MA, sebagai juara 3 mapel Matematika  yang diikuti lebih dari tiga ratus peserta Tingkat SLTA dari Kabupaten Tuban, Bojonegoro dan Lamongan.
Tradisi memborong trofi dalam tiap even Hari Amal Bakti (HAB) Depag Tuban sudah dirasakan sejak MAIS dipimpin KH. Mawahib Suyuthi. Pada HAB Depag Kabupaten Tuban tahun 2009 lalu. MAIS kembali menunjukkan eksistensinya sebagai Madrasah dengan segudang prestasi.
Yang lebih menghebohkan lagi, setelah  harian Jawa Pos melansir hasil peserta UN SMA/MA se- Jatim, menempatkan MA Islamiyah Tuban (baca: Senori) sebagai peraih rata-rata NUN tertinggi se- Jawa Timur untuk jurusan bahasa, seakan telah mengukuhkan MAIS sebagai sekolah desa yang patut diperhitungkan ditingkat Jawa Timur, terlebih setelah profil M. Ali Mu’thi ditulis Radar Bojonegoro sebagai peraih 3 besar NUN tertinggi se-Jatim, seakan tak habis memperbincangkan MA.Islamiyah Senori . Komplet sudah  ketika pada Haflah akhirussannah secara khusus Departemen Kementrian Agama Kabupaten Tuban memberi penghargaan trophy kepada MA. Islamiyah Senori yang turut membawa harum Kabupaten Tuban.
Selanjutnya pada olimpiade ke-2 mapel UN yang diselenggarakan oleh MKK Se karwil Bojonegoro tahun 20011 meliputi Tuban, Bojonegoro, dan Lamongan yang diselenggarakan di MAN Lamongan , perwakilan MA. Islamiyah meraih 7 tropy sekaligus dari 1 tropi pada even yang sama tahun sebelumnya . Juara 1 Antropologi oleh Nur Ida-XII bahasa, juara 2 Matematika diraih Nuryanti Rosyida XIIC-IPS,


 juara 2 Sosiologi atas nama Sholihatun XIID-IPS, Selanjutnya juara 3 Matematika oleh Fatimatul Nur Zairoh XII-bahasa, sementara Ubaid Aisyul Hana. XII  jurusan bahasa menempati peringkat harapan 2. Juara 3 Bahasa Inggris diraih  Eviana XII-bahasa, dan harapan 1 geografi oleh Ima Humairo XIIC-IPS.
Dalam even Qiroatul Kutub Kapontren Kemenag  Jawa Timur.  Aliyah Senori juga berhasil mewakili Kemenag Tuban menjadi duta untuk cabang lomba debat bahasa Arab putra dan putri, meski hanya sebagai juara  harapan 2 putri dan 3 putra.
Dalam Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tahun 2011/12, Jamilatul Lailia( Jurusan Bahasa) juga dinobatkan sebagai peraih rata-rata Nilai Akhir (NA) Ujian Nasional  tingkat MA/MAN di lingkungan Kemenag Jawa Timur sebagai peraih NA-NUN tertinggi program bahasa.
Adapun pada HAB Depag akhir tahun 2011 kemarin juga siswa-siswa MAIS mampu mengulang mengoleksi banyak piala baik pada lomba debat maupun pidato arab-inggris serta mapel UN. Yang tak kalah  prestasinya saat mengikuti lomba penulisan Karya Tulis Ilmiah (KTI) oleh Ronggolawe Press Solidarity Tuban, 15 November 2011, Siti  Nur Alfiana Wulandari (X bahasa) berhasil meraih juara 1 hingga berhak mendapatkan tabanas 1.5 juta dan  Millatun Nafi’ah  (XII bahasa) juara 3 lomba fotografi dengan  tabanas 750 ribu rupiah pada lomba yang digelar dalam rangka hari jadi Kabupaten Tuban ke-718.
Selanjutnya pada penghujung tahun 2011 tepatnya pada 27 Desember 2011, siswa MAIS berhasil menyapu bersih juara penulisan karya tulis ilmiyah yang diadakan oleh LSM Barokah Tuban. Aqidatul Izza Zain, juara 1, St. Zahrotul Afidah juara 2. Dan juara 3 diraih oleh Siti  Nur Alfiana Wulandari, ketiganya adalah siswa kelas X bahasa.

Fasilitas MA Islamiyah
Kini MAIS memiliki 20 ruang belajar, dengan 40 guru mapel, 1 guru BP dan 3 tenaga administrasi/TU, 1 ruang guru dan TU, 1 ruang BP, 1 ruang perpustakaan/ laboratorium IPA,  1 ruang OSIS, 1 kamar  kecil untuk guru dan 4 untuk siswa. Selanjutnya  1 ruang laboratorium bahasa dan 1 ruang laboratorium computer,  2 unit drum band milik yayasan untuk bersama.

Jumat, 13 Juli 2012

Kepala Sekolah

serah terima cindera mata KEPALA MADRASAH di aula IAIN Sunan Ampel Surabaya 2011
wisata Religi di Syaikhona kholil bangkalan 2011

pemberangkat PJS Oleh Romo KH. Moch. Muhyiddin M
wakil bupati bersama ketua yayasan

10 besar wisudawan 2012& siswa berprestasi


 10 besar wisudawan 2012

siswa berprestasi pada semester ganjil 2011

lomba olimpiade sekarasidenan Bojonegoro 2011

LOMBA HAB Kemenag 65 2011

Copyright © 2012 Fatchul Ahmad Inspiration